Rabu, 10 April 2013

Senyum Rembulan




            Dulu, Rizal percaya pada penderitaan yang nyaris tak ada duanya itu.
            Wajah renta dengan senyum purnama itu telah menyekap malam-malam lelapnya dan membuat ia memiliki keikhlasan menyisihkan uang saku yang tidak seberapa. Seberapalah besar uang saku seorang anak dari keluarga pas-pasan seperti dirinya. Tentu tak banyak. Tapi tak apa. Dengan mengendap-endap seperti pahlawan, ia meletakkan uang receh itu di teras rumah, membiarkan dipungut nenek itu esok harinya.
            Tak apalah jika ia merasa sepi atas setiap kepedulian yang menuntut untuk menganggap rasa itu sebagai kewajiban. Toh, sungguh kala itu ia benar-benar tak berkawan atas rasa simpati yang tak bosan bersarang.
            Dan ia selalu gembira. Kewajiban itu membuat ia bersemangat untuk selalu hadir shalat isya di masjid, sebab waktu pulangnya adalah waktu terlogis meletakkan uang-uang itu; tabungannya di akhirat.
            Ia selalu percaya bahwa amal yang paling ikhlas adalah amal yang disembunyikan. Amal yang tak menuntut pandangan mata orang. Ia tak perlu pujian dari orang-orang sebab amalnya bukan untuk mereka. Ia percaya ada Tuhan yang tak pernah lena. Bahkan Rosulullah menganjurkan agar apa yang diperbuat oleh tangan kanan jangan diketahui oleh tangan kiri. Itulah alasan mengapa ia tak datang langsung kepada wanita renta itu dan menyerahkan uangnya. Dan itu telah berlangsung bertahun-tahun, semenjak ia masih sekolah, hingga kini sebuah jabatan di perusahaan asing telah dipegangnnya.
            Kali ini bersama seorang teman, melintasi gubuk reyot beratap seng itu, ada rasa berbeda yang pelan-pelan menggerayangi hati. Teman satu kantornya itu berkenan menginap di rumahnya, dan karena sesama aktivis masjid, keduanya bertandang shalat isya.
            “Rumah seorang janda,” jawabnya atas tanya sang teman. Matanya mengarah pada pintu kayu lapuk yang setengah membuka. Si nenek, tentu belum lama berselang masuk rumah itu setelah tunai shalat di masjid.
            Tanya itu, tanya yang sama saat tiga tahun yang lalu kelaurganya memutuskan pindah ke kompleks di pinggi Jakarta ini. Saat itu, ia terenyuh menyaksikan tiang rapuh pada gubuk yang terpancang seadanya di tanah sisa-milik pemerintah-di seberang lapangan bola yang dilewatinya tiap berangkat dan pulang ke masjid. Bedanya, dulu ia memerlukan waktu lama untuk mengetahui perihal hidup sang janda tanpa anak itu.
            “Suaminya ga ada,” jelasnya.
            “Ke mana?”
            “Menikah lagi.”
            “Keluarga?”
            “Tidak tahu pasti. Dulu, ia pernah punya anak, namun meninggal saat usia balita. Kehamilan yang kedua mengalami masalah, dan karena itu rahimnya diangkat.”
            “Kasihan sekali.”
            Rasa kasihan yang sama, dulu pernah terpenjara dalam hatinya membuat cukup lama ia bergeletakan di tempat tidur tak bisa memejamkan mata. Kala itu, ia menyesali kemiskinan dirinya sehingga tak mampu mengulurkan tangan pada orang-orang papa. Sepenuhnya ia sadar,  sisa uang sakunya yang anak keluarga pas-pasan, tidaklah memiliki arti dalam pemenuhan kebutuhan sang nenek.
            “Karena tak punya anak, suaminya meminta cerai dan menikah lagi,” jelasnya lebih lanjut. Ia hanya tersenyum saat sang teman mengomentari betapa ia mengetahui begitu banyak tentang si wanita. “Tentu saja aku tahu karena aku penduduk di sini.”
            “Kenapa tidak dimadu saja?”
            “Mana aku tahu? Orang selalu mempunyai alasan lain yang kita tak tahu. Yang jelas, setelah menikah dengan kistri kedua itu, si suami tak lagi berkunjung. Aku pikir, mungkin untuk apa? Toh, lelaki itu sudah bukan siapa-siapa lagi baginya.”
            Mendesah. Rasa sesak.
            “Dengar-dengar, sudah hidup bahagia dengan lima anak. Semuanya sukses menjadi pengusaha, tinggal di kota-kota besar nusantara.
            “Dan dia tetap sendiri?”
            “Mungkin sendiri. Ia memenuhi kebutuhannya dengan berjualan makanan kecil. Anak-anak SD banyak yang jajan di sana.”
            Sedih. Itu wajar.
            “Tidak ada yang peduli?”
            “Setiap tahun, ia mendapat jatah pembagian zakat fitrah lebih besar dari asnaf yang lain.”
            “Hanya itu? Orang miskin tidak hanya makan sekali dalam setahun.”
            Retorika yang basi. Ia diam. Menggeleng tidak, pun mengangguk. Apa yang hendak ia ceritakan tentang uang yang dulu rutin ia tinggalkan di halaman rumah sang janda? Apakah sekarang ia akan membiarkan kerahasiaan yang dia agungkan sebagai rasa ikhlas itu terbuka tabirnya? Ia tidak ingin menyudahi amalnya dengan keikhlasan yang cela, walaupun sungguh, kini, ia sendiri mulai menyelami keikhlasan sendiri oleh sebab keraguan yang semakin hari semakin menggejala. Biarlah keraguan yang menyesak di hatinya menjadi urusan sendiri wanita itu dari bilangan yang telah ia habiskan.
            Benar begitu adanya. Ia ingat dulu menyesali dirinya mengapa tidak ditakdirkan menjadi orang kaya sehingga bisa memberi uang berlebih. Seiring dengan waktu, ia mulai berfikir ulang tentang keikhlasan. Setan selalu berusaha menghancurkan amal anak adam. Jika dia tidak bisa mencegah, maka merusak adalah langkah terakhir. Yang dirusak adalah keikhlasannya, maka rusak pulalah amalnya.
            Terus berjalan, ia berusaha beralih ke topik lain. Tapi, cakrawala tentang janda renta tanpa keluarga itu tak bisa digulung sekonyong-konyong dan masih setia menghiasi seluruh perbincangan. Kendati ia ingin beranjak, sang teman terlanjur tertarik, barangkali seperti tertariknya ia pertama kali.
            “Banyak sekali orang yang memanfaatkan penderitaan dirinya untuk kepentingan sendiri.” Ia mulai menyerah, mengalamatkan pada keraguan yang sejauh ini berusaha ia hindari.
            Jika benar sungguh keraguan itu, maka tentulah sesuatu yang beralasan. Bagaimana tidak? Sebulan lalu, ia mendapat rizki yang luar biasa banyak. Bukan lagi dalam bilangan juta, tetapi puluh juta. Seperti bisa setiap memiliki uang berlebih, ia akan mengendap-endap setiap pulang shalat isya, meletakkan ampop itu di pekarangan si nenek, agar diambilnya esok pagi. Ritual yang telah lama ia jalani.
            Dulu ia selalu gembira saat mendengar pagi-paginya tidak ada berita apa-apa. Tidak ada kehebohan sebagaimana saat uang Bu Haji terjatuh di perempatan pos kamling dan di temukan rekan arisan. Tak juga seperti saat Pak Prono menebus nomor buntut sebesar lima puluh ribu rupiah. Tak ada bisik-bisik atau kabar angin tentang rezeki nomplok. Wanita itu mengambil uang yang ia letakkan dengan diam; dan ia tersenyum lebar oleh sempurnanya kerahasiaan yang ia agungkan sebagai rasa ikhlas. Maka tak heran, perihal uang temuan itu tak sampai diketahui banyak orang. Hanya wanita itu, dirinya, dan Allah yang tahu. Ia bersyukur-saat itu- karena dengan begitu, ia lebih mudah memelihara hatinya.
            Namun, ketika diam pun berlaku untuk uangnya bulan lalu, mulailah tumbuh rasa lain itu.
            Mengapa?
            Ia rela-andai ia ditanya- jika uang-uangnya terdahulu dianggap tidak bernilai apa-apa, dan karenanya, tidak ada perubahan berarti pada diri si wanita. Pun, jumlah itu tak cukup menjadi alasan bagi sang nenek untuk membuat kehebohan melebihi hebohnya berita-berita selebritis. Tapi, dengan jumlah yang lebih dari satu juta, tidakkah ada yang berubah? Tidakkah wanita itu mengucap syukur atas hadiah yang istimewa itu?
            Ia teringat dengan seorang rekan kuliahnya dulu yang mendapat kiriman baju dari orang yang tidak dikenal. Bagi seorang dengan tingkat ekonomi payah yang harus membanting tulang demi biaya kuliah, mendapat kiriman tak terduga semacam itu tentu saja kegembiraan. Ya, si rekan itu ingin sekali mengucapkan terima kasih kepada sang dermawan, namun ia tak tahu siapa. Dan yang dilakukannya kemudian adalah-ia selalu tercengang setiap mengingat hal ini-memakai baju hadiah itu nyaris setiap hari, berharap sang deremawan melihat bagaimana hadiahnya dihargai. Sebuah cara berterima kasih yang ia kagumi dan tak pernah ia pikirkan.
            Lantas, terlalu berlebihankah jika kini iapun berharap demikian? Ia ingin-sebagai wujud terima kasih si nenek-dinding rumah dari anyaman bambu yang telah bolong-bolong itu diganti papan. Atau seng atap rumah yang telah bocor diganti atap dari tanah liat. Ia yakin, uang yang ia letakkan kemarin lebih dari cukup.
            Sayang, yang dia temukan justru jauh dari harapan. Baju wanita itu masih tetap usang; pakaian lapuk yang-kendati tak sampai penuh tambalan sebagaimana ironisnya kisah-kisah dalam buku kanaknya- telah kusam dimakan usia. Tak cukup sedap dipandang mata karena telah layak dijadikan kain pel. Pintu gubuknya masih dari papan kayu randu yang rapuh bagian bawahnya karena dihajar tempiasan air hujan.
            Ia berusaha berdamai dengan membuka kemungkinan lain: apakah si wanita menggunakan uang itu untuk menambah modal dagang? Ia menggeleng. Dagangannya masih sama seperti kemarin. Beberapa bungkus makanan ringan yang lahap dijajan anak SD.
            Tak ada satu halpun yang membuat ia terbebas dari berprasangka. Karenanya, kebimbangan semakin buncah dan memenuhi dadanya.
            “Apa yang kau maksud dengan memanfaatkan penderitaan?” tanya si teman, heran atas pertanyaannya barusan.
            “Banyak sekali gelandangan-gelandangan pinggir jalan yang sebenarnya bukanlah orang papa. Banyak orang yang cacat memanfaatkan kekurangan-yang menjadi takdirnya-guna menjaring simpati dan memperoleh belas kasihan.”
            Mungkin itulah kesimpulan yang tepat. Ia mulai ragu. Bukankah besar kemungkinan dirinya adalah bagian dari orang-orang yang terbodohi? Bisa saja dirinya tertipu oleh “kesunyian simpati” yang ia rasakan selama ini. Bisa saja sesungguhnya ia banyak “berkawan” dalam menyisihkan sedikit uang untuk si wanita, dan kawan itu menempuh jalan yang sama sebagaimana yang selama ini ia lakukan; mengagungkan kerahasiaan sebagai etikat wajib keikhlasan.
            Di bawah rumah reot yang mengibakan itu, bisa jadi tempat timbunan harta para dermawan. Siapa yang menyangkal? Toh, wanita itu mengambil uang-uangnya tanpa pernah ada komentar, tanpa ada bisik-bisik dan kehebohan. Datar. Mungkin, sesungguhnya ia memiliki rumah mewah di tempat lain, atau depositu di bank, atau apa saja. Dan seragamnya saat ini tak lebih dari upaya menjaring orang-orang seperti dirinya mengantarkanu uang yang akan segera dihimpunnya dalam pundi-pundi hari tua.
            “Bukan kita tak diwajibkan untuk mengetahui akan digunakan untuk apa uang yang kita dermakan?”
            Ia tersenyum kecut, merasa tertohok oleh petanyaan sang teman. Sungguh memang demikian adanya. Rasa ikhlas itu kini seperti ditampar-tamparnya sendiri.
            “Sudahlah! Tak perlu kita berprasangka seperti itu jika memang kita ingin membantu. Urusan setiap orang atas amalnya sendiri, sedangkan amal itu terhitung dari niat. Untuk orang-orang seperti yang kau sebut-mudah-mudahan wanita ini bukan termasuk diantaranya-Allah akan membuat perhitungan tersendiri yang terpisah dari pahala atas keikhlasan amal yang kita lakukan.”
            Senyumnya semakin getir. Semoga. Sejenak, keraguan itu masih sempat dimanjakan dengan statemen lain, bahwa si teman berkata demikian karena tidak melihat sebagaimana yang ia lihat. Jika ia, mungkin ceritanya akan lain.
            “Kebetulan aku memiliki sedikit uang berlebih. Kuharap kau berkenan menyerahkannya kepada wanit itu. Tak perlu bilang dari siapa. Mudah-mudahan pujiannya tak pernah aku dengar sehingga aku tak perlu bersusah payah memperjuangkan rasa ikhlas.”
            Lega saat ia menerima uang itu setelah sebelumnya menganggung menyatakan kesanggupan atas amanah sang teman. Ia bersyukur, belum jauh bercerita perihal keraguan yang semakin merajai hatinya. Alangkah sungguh, ikhlas itu begitu indah. Ia tak ingin mengurangi binar ikhlas pada wajah sang teman. Biarlah-jika benar dugaannya-menjadi bagian dari perhitungan amal nenek itu sendiri, perhitungan yang terpisah dari pahala amalnya. Ia bertekad untuk kembali belajar tentang keikhlasan.
**
            Tak sesemangat saat-saat sebelumnya, ia melenggang melintasi gubuk reyot dengan pelita temaram yang tampak berkelip-kelip dari selubang dinding anyaman bambu. Uang itu telah ia simpan rapi dalam amplop, dan kemudian ia letakkan di depan pintu yang letaknya agak terpisah dari jalan; sebuah jaminan aman, tidak akan diambil oleh orang lain yang kebetulan lewat.
            Lantas, kembali berjalan, ia menggemakan istigfar, menabuh-nabuh segala prasangka agar selekasnya pergi dari mengacak-acak hatinya beberapa hari ini. Lega, biarlah semua menjadi urusan masing-masing niat.
            Sang wanita, pelan membuka pintu bilik setelah yakin sosok itu menjauh. Segera dipungutnya amplop itu seraya bergumam, “Ia mungkin malaikat yang diutus Allah untuk menyampaikan harta ini kepada yang berhak.”
Seperti hari-hari kemarin, ia menyimpan baik-baik uang dalam amplop itu di balik baju-sebuah cara yang ditempuhnya agar uang itu tidak tertinggal saat esok pagi ia berangkat shalat subuh-dan hatinya lamat-lamat mengurai doa; doa yang sama sebagaimana telah sekian lama ia panjatkan, “Semoga engkau balasi setiap kebajikan dengan kebajikan yang berlipat ganda.”
Senyumnya semakin lebar malam itu. “Allah, masih Kau percaya aku hari ini.” Terbayang, tempat wudhu di masjid yang telah rusak, sebentar lagi akan diperbaiki. Bulan lalu, titipan dari malaikat utusan itu memenuhi kotak amal masjid, dan pihak pengelola menggunakannya untuk memperbaiki lantai teras yang telah bolong-bolong.

Cikutra, 01-11-2003
Sakti Wibowo

Duka Semut

Berjalan terus berjalan
Mencoba tersenyum meski tak terlihat
Berlari aku terus berlari
Meski perhatian tak pernah ada
Aku ingin kau sapa
Meski aku tak secantik kupu-kupu itu
Aku ingin kau simak
Seperti jangkrik yang menemai sepimu
ah biarlah
Aku akan terus berlari bersama kasih
Walau dunia tak di tanganku
Harusnya selalu aku sadari
Aku hanya semut
diantara jutaan keindahan alam..

Bareti, 10-04-2013
desiliasely