Dulu, Rizal percaya pada penderitaan yang nyaris tak ada
duanya itu.
Wajah renta dengan senyum purnama itu telah menyekap
malam-malam lelapnya dan membuat ia memiliki keikhlasan menyisihkan uang saku
yang tidak seberapa. Seberapalah besar uang saku seorang anak dari keluarga
pas-pasan seperti dirinya. Tentu tak banyak. Tapi tak apa. Dengan
mengendap-endap seperti pahlawan, ia meletakkan uang receh itu di teras rumah,
membiarkan dipungut nenek itu esok harinya.
Tak apalah jika ia merasa sepi atas setiap kepedulian
yang menuntut untuk menganggap rasa itu sebagai kewajiban. Toh, sungguh kala
itu ia benar-benar tak berkawan atas rasa simpati yang tak bosan bersarang.
Dan ia selalu gembira. Kewajiban itu membuat ia
bersemangat untuk selalu hadir shalat isya di masjid, sebab waktu pulangnya
adalah waktu terlogis meletakkan uang-uang itu; tabungannya di akhirat.
Ia selalu percaya bahwa amal yang paling ikhlas adalah
amal yang disembunyikan. Amal yang tak menuntut pandangan mata orang. Ia tak
perlu pujian dari orang-orang sebab amalnya bukan untuk mereka. Ia percaya ada
Tuhan yang tak pernah lena. Bahkan Rosulullah menganjurkan agar apa yang
diperbuat oleh tangan kanan jangan diketahui oleh tangan kiri. Itulah alasan
mengapa ia tak datang langsung kepada wanita renta itu dan menyerahkan uangnya.
Dan itu telah berlangsung bertahun-tahun, semenjak ia masih sekolah, hingga
kini sebuah jabatan di perusahaan asing telah dipegangnnya.
Kali ini bersama seorang teman, melintasi gubuk reyot
beratap seng itu, ada rasa berbeda yang pelan-pelan menggerayangi hati. Teman
satu kantornya itu berkenan menginap di rumahnya, dan karena sesama aktivis
masjid, keduanya bertandang shalat isya.
“Rumah seorang janda,” jawabnya atas tanya sang teman.
Matanya mengarah pada pintu kayu lapuk yang setengah membuka. Si nenek, tentu
belum lama berselang masuk rumah itu setelah tunai shalat di masjid.
Tanya itu, tanya yang sama saat tiga tahun yang lalu
kelaurganya memutuskan pindah ke kompleks di pinggi Jakarta ini. Saat itu, ia
terenyuh menyaksikan tiang rapuh pada gubuk yang terpancang seadanya di tanah
sisa-milik pemerintah-di seberang lapangan bola yang dilewatinya tiap berangkat
dan pulang ke masjid. Bedanya, dulu ia memerlukan waktu lama untuk mengetahui
perihal hidup sang janda tanpa anak itu.
“Suaminya ga ada,” jelasnya.
“Ke mana?”
“Menikah lagi.”
“Keluarga?”
“Tidak tahu pasti. Dulu, ia pernah punya anak, namun
meninggal saat usia balita. Kehamilan yang kedua mengalami masalah, dan karena
itu rahimnya diangkat.”
“Kasihan sekali.”
Rasa kasihan yang sama, dulu pernah terpenjara dalam
hatinya membuat cukup lama ia bergeletakan di tempat tidur tak bisa memejamkan
mata. Kala itu, ia menyesali kemiskinan dirinya sehingga tak mampu mengulurkan
tangan pada orang-orang papa. Sepenuhnya ia sadar, sisa uang sakunya yang anak keluarga
pas-pasan, tidaklah memiliki arti dalam pemenuhan kebutuhan sang nenek.
“Karena tak punya anak, suaminya meminta cerai dan menikah
lagi,” jelasnya lebih lanjut. Ia hanya tersenyum saat sang teman mengomentari
betapa ia mengetahui begitu banyak tentang si wanita. “Tentu saja aku tahu
karena aku penduduk di sini.”
“Kenapa tidak dimadu saja?”
“Mana aku tahu? Orang selalu mempunyai alasan lain yang
kita tak tahu. Yang jelas, setelah menikah dengan kistri kedua itu, si suami
tak lagi berkunjung. Aku pikir, mungkin untuk apa? Toh, lelaki itu sudah bukan
siapa-siapa lagi baginya.”
Mendesah. Rasa sesak.
“Dengar-dengar, sudah hidup bahagia dengan lima anak.
Semuanya sukses menjadi pengusaha, tinggal di kota-kota besar nusantara.
“Dan dia tetap sendiri?”
“Mungkin sendiri. Ia memenuhi kebutuhannya dengan
berjualan makanan kecil. Anak-anak SD banyak yang jajan di sana.”
Sedih. Itu wajar.
“Tidak ada yang peduli?”
“Setiap tahun, ia mendapat jatah pembagian zakat fitrah
lebih besar dari asnaf yang lain.”
“Hanya itu? Orang miskin tidak hanya makan sekali dalam
setahun.”
Retorika yang basi. Ia diam. Menggeleng tidak, pun
mengangguk. Apa yang hendak ia ceritakan tentang uang yang dulu rutin ia tinggalkan
di halaman rumah sang janda? Apakah sekarang ia akan membiarkan kerahasiaan
yang dia agungkan sebagai rasa ikhlas itu terbuka tabirnya? Ia tidak ingin
menyudahi amalnya dengan keikhlasan yang cela, walaupun sungguh, kini, ia
sendiri mulai menyelami keikhlasan sendiri oleh sebab keraguan yang semakin
hari semakin menggejala. Biarlah keraguan yang menyesak di hatinya menjadi
urusan sendiri wanita itu dari bilangan yang telah ia habiskan.
Benar begitu adanya. Ia ingat dulu menyesali dirinya
mengapa tidak ditakdirkan menjadi orang kaya sehingga bisa memberi uang
berlebih. Seiring dengan waktu, ia mulai berfikir ulang tentang keikhlasan.
Setan selalu berusaha menghancurkan amal anak adam. Jika dia tidak bisa
mencegah, maka merusak adalah langkah terakhir. Yang dirusak adalah
keikhlasannya, maka rusak pulalah amalnya.
Terus berjalan, ia berusaha beralih ke topik lain. Tapi,
cakrawala tentang janda renta tanpa keluarga itu tak bisa digulung
sekonyong-konyong dan masih setia menghiasi seluruh perbincangan. Kendati ia
ingin beranjak, sang teman terlanjur tertarik, barangkali seperti tertariknya
ia pertama kali.
“Banyak sekali orang yang memanfaatkan penderitaan
dirinya untuk kepentingan sendiri.” Ia mulai menyerah, mengalamatkan pada
keraguan yang sejauh ini berusaha ia hindari.
Jika benar sungguh keraguan itu, maka tentulah sesuatu
yang beralasan. Bagaimana tidak? Sebulan lalu, ia mendapat rizki yang luar
biasa banyak. Bukan lagi dalam bilangan juta, tetapi puluh juta. Seperti bisa
setiap memiliki uang berlebih, ia akan mengendap-endap setiap pulang shalat
isya, meletakkan ampop itu di pekarangan si nenek, agar diambilnya esok pagi.
Ritual yang telah lama ia jalani.
Dulu ia selalu gembira saat mendengar pagi-paginya tidak
ada berita apa-apa. Tidak ada kehebohan sebagaimana saat uang Bu Haji terjatuh
di perempatan pos kamling dan di temukan rekan arisan. Tak juga seperti saat
Pak Prono menebus nomor buntut sebesar lima puluh ribu rupiah. Tak ada
bisik-bisik atau kabar angin tentang rezeki nomplok. Wanita itu mengambil uang
yang ia letakkan dengan diam; dan ia tersenyum lebar oleh sempurnanya
kerahasiaan yang ia agungkan sebagai rasa ikhlas. Maka tak heran, perihal uang
temuan itu tak sampai diketahui banyak orang. Hanya wanita itu, dirinya, dan
Allah yang tahu. Ia bersyukur-saat itu- karena dengan begitu, ia lebih mudah
memelihara hatinya.
Namun, ketika diam pun berlaku untuk uangnya bulan lalu,
mulailah tumbuh rasa lain itu.
Mengapa?
Ia rela-andai ia ditanya- jika uang-uangnya terdahulu
dianggap tidak bernilai apa-apa, dan karenanya, tidak ada perubahan berarti
pada diri si wanita. Pun, jumlah itu tak cukup menjadi alasan bagi sang nenek
untuk membuat kehebohan melebihi hebohnya berita-berita selebritis. Tapi,
dengan jumlah yang lebih dari satu juta, tidakkah ada yang berubah? Tidakkah
wanita itu mengucap syukur atas hadiah yang istimewa itu?
Ia teringat dengan seorang rekan kuliahnya dulu yang
mendapat kiriman baju dari orang yang tidak dikenal. Bagi seorang dengan
tingkat ekonomi payah yang harus membanting tulang demi biaya kuliah, mendapat
kiriman tak terduga semacam itu tentu saja kegembiraan. Ya, si rekan itu ingin
sekali mengucapkan terima kasih kepada sang dermawan, namun ia tak tahu siapa.
Dan yang dilakukannya kemudian adalah-ia selalu tercengang setiap mengingat hal
ini-memakai baju hadiah itu nyaris setiap hari, berharap sang deremawan melihat
bagaimana hadiahnya dihargai. Sebuah cara berterima kasih yang ia kagumi dan
tak pernah ia pikirkan.
Lantas, terlalu berlebihankah jika kini iapun berharap
demikian? Ia ingin-sebagai wujud terima kasih si nenek-dinding rumah dari
anyaman bambu yang telah bolong-bolong itu diganti papan. Atau seng atap rumah
yang telah bocor diganti atap dari tanah liat. Ia yakin, uang yang ia letakkan
kemarin lebih dari cukup.
Sayang, yang dia temukan justru jauh dari harapan. Baju
wanita itu masih tetap usang; pakaian lapuk yang-kendati tak sampai penuh
tambalan sebagaimana ironisnya kisah-kisah dalam buku kanaknya- telah kusam
dimakan usia. Tak cukup sedap dipandang mata karena telah layak dijadikan kain
pel. Pintu gubuknya masih dari papan kayu randu yang rapuh bagian bawahnya
karena dihajar tempiasan air hujan.
Ia berusaha berdamai dengan membuka kemungkinan lain: apakah
si wanita menggunakan uang itu untuk menambah modal dagang? Ia menggeleng.
Dagangannya masih sama seperti kemarin. Beberapa bungkus makanan ringan yang
lahap dijajan anak SD.
Tak ada satu halpun yang membuat ia terbebas dari
berprasangka. Karenanya, kebimbangan semakin buncah dan memenuhi dadanya.
“Apa yang kau maksud dengan memanfaatkan penderitaan?”
tanya si teman, heran atas pertanyaannya barusan.
“Banyak sekali gelandangan-gelandangan pinggir jalan yang
sebenarnya bukanlah orang papa. Banyak orang yang cacat memanfaatkan
kekurangan-yang menjadi takdirnya-guna menjaring simpati dan memperoleh belas
kasihan.”
Mungkin itulah kesimpulan yang tepat. Ia mulai ragu.
Bukankah besar kemungkinan dirinya adalah bagian dari orang-orang yang
terbodohi? Bisa saja dirinya tertipu oleh “kesunyian simpati” yang ia rasakan
selama ini. Bisa saja sesungguhnya ia banyak “berkawan” dalam menyisihkan
sedikit uang untuk si wanita, dan kawan itu menempuh jalan yang sama
sebagaimana yang selama ini ia lakukan; mengagungkan kerahasiaan sebagai etikat
wajib keikhlasan.
Di bawah rumah reot yang mengibakan itu, bisa jadi tempat
timbunan harta para dermawan. Siapa yang menyangkal? Toh, wanita itu mengambil
uang-uangnya tanpa pernah ada komentar, tanpa ada bisik-bisik dan kehebohan.
Datar. Mungkin, sesungguhnya ia memiliki rumah mewah di tempat lain, atau
depositu di bank, atau apa saja. Dan seragamnya saat ini tak lebih dari upaya
menjaring orang-orang seperti dirinya mengantarkanu uang yang akan segera
dihimpunnya dalam pundi-pundi hari tua.
“Bukan kita tak diwajibkan untuk mengetahui akan
digunakan untuk apa uang yang kita dermakan?”
Ia tersenyum kecut, merasa tertohok oleh petanyaan sang
teman. Sungguh memang demikian adanya. Rasa ikhlas itu kini seperti
ditampar-tamparnya sendiri.
“Sudahlah! Tak perlu kita berprasangka seperti itu jika
memang kita ingin membantu. Urusan setiap orang atas amalnya sendiri, sedangkan
amal itu terhitung dari niat. Untuk orang-orang seperti yang kau
sebut-mudah-mudahan wanita ini bukan termasuk diantaranya-Allah akan membuat
perhitungan tersendiri yang terpisah dari pahala atas keikhlasan amal yang kita
lakukan.”
Senyumnya semakin getir. Semoga. Sejenak, keraguan itu
masih sempat dimanjakan dengan statemen lain, bahwa si teman berkata demikian
karena tidak melihat sebagaimana yang ia lihat. Jika ia, mungkin ceritanya akan
lain.
“Kebetulan aku memiliki sedikit uang berlebih. Kuharap
kau berkenan menyerahkannya kepada wanit itu. Tak perlu bilang dari siapa.
Mudah-mudahan pujiannya tak pernah aku dengar sehingga aku tak perlu bersusah
payah memperjuangkan rasa ikhlas.”
Lega saat ia menerima uang itu setelah sebelumnya
menganggung menyatakan kesanggupan atas amanah sang teman. Ia bersyukur, belum
jauh bercerita perihal keraguan yang semakin merajai hatinya. Alangkah sungguh,
ikhlas itu begitu indah. Ia tak ingin mengurangi binar ikhlas pada wajah sang
teman. Biarlah-jika benar dugaannya-menjadi bagian dari perhitungan amal nenek
itu sendiri, perhitungan yang terpisah dari pahala amalnya. Ia bertekad untuk
kembali belajar tentang keikhlasan.
**
Tak sesemangat saat-saat sebelumnya, ia melenggang
melintasi gubuk reyot dengan pelita temaram yang tampak berkelip-kelip dari
selubang dinding anyaman bambu. Uang itu telah ia simpan rapi dalam amplop, dan
kemudian ia letakkan di depan pintu yang letaknya agak terpisah dari jalan;
sebuah jaminan aman, tidak akan diambil oleh orang lain yang kebetulan lewat.
Lantas, kembali berjalan, ia menggemakan istigfar,
menabuh-nabuh segala prasangka agar selekasnya pergi dari mengacak-acak hatinya
beberapa hari ini. Lega, biarlah semua menjadi urusan masing-masing niat.
Sang wanita, pelan membuka pintu bilik setelah yakin
sosok itu menjauh. Segera dipungutnya amplop itu seraya bergumam, “Ia mungkin
malaikat yang diutus Allah untuk menyampaikan harta ini kepada yang berhak.”
Seperti
hari-hari kemarin, ia menyimpan baik-baik uang dalam amplop itu di balik
baju-sebuah cara yang ditempuhnya agar uang itu tidak tertinggal saat esok pagi
ia berangkat shalat subuh-dan hatinya lamat-lamat mengurai doa; doa yang sama
sebagaimana telah sekian lama ia panjatkan, “Semoga engkau balasi setiap
kebajikan dengan kebajikan yang berlipat ganda.”
Senyumnya
semakin lebar malam itu. “Allah, masih Kau percaya aku hari ini.” Terbayang,
tempat wudhu di masjid yang telah rusak, sebentar lagi akan diperbaiki. Bulan
lalu, titipan dari malaikat utusan itu memenuhi kotak amal masjid, dan pihak
pengelola menggunakannya untuk memperbaiki lantai teras yang telah
bolong-bolong.
Cikutra,
01-11-2003
Sakti Wibowo